Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui Firman Raja No. 1 tanggal 6 Mei 1946 memerintahkan untuk menetapkan dan memperlakukan suatu peraturan tata usaha kepolisian beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara kriminil yang dilakukan oleh golongan bumi putera dan yang dipersamakan. Mr. H.L. Wichers yang berasal dari negeri Belanda berhasil menyusun rencana peraturan dimaksud dan menyampaikan kepada Gubernur Jenderal J.J. Rochussen pada tanggal 6 Agustus 1847.

Setelah beberapa kali melalui perdebatan dan perubahan akhirnya Gubernur Jenderal menerima rancangan dan diumumkan melalui Stb. No, 16 tanggal 5 April 1848 dan kemudian disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 No. 93 diumumkan dalam Stb. 1849 No. 63 yang dikenal dengan “lnlandsch Reglement (IR). IR ini juga beberapa kali mengalami perubahan antara lain pada I() Modul Pengantar Hukum Acara Pidana tahun 1926 dan 1941, melalui Stb. 1941 No. 44 ditetapkan antara Iain Reglemen Bumiputera setelah diadakan perubahan dalam ordonansi ini akan berlaku di dalam darah hukum Laundraad yang kemudian disebut “Herziene Inlandsch Reglement". (H.I.R).

Perlu dicatat bahwa pada mulanya HIR pada dasarnya hanya berlaku bagi bangsa Eropa dan warga negara Indonesia keturunan asing serta bangsa Indonesia asli yang tunduk pada hukum sipil barat, yaitu golongan yang merupakan justiciabelen dari Raad van Justitie. Setelah Indonesia merdeka dikeluarkan UU Darurat tahun 1951 No. 1 (Lembaran Negara 1951 No. 9) yang melakukan perubahan total mengenai susunan kehakiman.

Pengadilan negeri dibentuk menggantikan Laundraad dan sekaligus Raad var Justifies, dan HIR merupakan pedoman beracara di pengadilan negeri baik dalam perkara perdata maupun pidana sipil. Pada kenyataannya meskipun HIR telah diberlakukan untuk semua pengadilan negeri namun terhadap Pengadilan Negeri di luar Jawa dan Madura, masih berlaku ketentuan “Rechtsregleinent Buitengewesten” (Reglement untuk daerah seberang).

Oleh karena HIR belum memberikan jaminan hukum bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka maka setelah melalui perdebatan panjang akhirnya lahirlah undang-undang hukum acara pidana yang baru pada tanggal 31 Desember 1981 yang dikenal dengan Undang- undang No. 8 tahun 1981 (LNRI No. 76 TLN No. 3209) selanjutnya disebut dengan “Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menggantikan HIR.

welcome

SEJARAH SINGKAT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Pada tahun 1973 Panitia Intern Departemen Kehakiman yang dibentuk pada tahun 1967 memperhatikan kesimpulan Seminar Hukum Nasional II yang diselenggarakan di Semarang pada tahun 1968 yang membahas tentang hukum acara pidana dan hak asasi manusia yang diprakarsai oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), Panitia Intern Departemen Kehakiman bersama-sama dengan Kejaksaan Agung, Departemen Hankam Polri dan Departemen Kehakiman dengan merujuk pada hasil seminar tersebut menyusun Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) yang setelah disempumakan diserahkan kepada Sekretaris Kabinet oleh I\/lenteri Kehakiman pada tahun 1974.

Pada tahun 1979 diadakan pertemuan kembali antara Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, Kapolri dan Hakim Agung guna membahas penyempurnaan rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan melibatkan juga organisasi profesi seperti peradilan, IKAHI, Persaja, Persahi dan Iain-Iain. Dengan amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No. R.06/P.U/IX/1979 Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana disampaikan kepada DPR. Pada tanggal 9 Oktober 1979 diadakan pembicaraan Tingkat I kemudian dilanjutkan pembicaraan tingkat II dalam sidang Paripurna DPR-RI. Dan pada pembicaraan tingkat III dalam sidang Komisi diputuskan oleh Badan Musyawarah” DPR-RI bahwa pembicaraan tingkat III dilakukan oleh gabungan Komisi III dan I. Gabungan Komisi III dan I bekerja sejak 24 November 1979 sampai dengan 22 Mei 1980 yang memutuskan dibentuk tim sinkronisasi yang diberi mandat penuh.

Tim sinkronisasi bersama dengan Wakil pemerintah melakukan rapat-rapat mulai tanggal 25 Mei 1980 yang dilakukan secara maraton baik di Senayan maupun di luar kompleks DPR- RI. Setelah berlangsung kurang Iebih dua tahun yaitu pada tanggal 9 September 1981. Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui SIGAB Komisi III dan I DPR-RI. Pada tanggal 23 September 1981 sidang paripurna DPR- RI Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang." Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1981 Presiden Soeharto mensahkan menjadi undang-undang sebagaimana disebutkan di atas.

RUANG LINGKUP KUHAP
Undang-undang Hukum Acara Pidana berlaku untuk melaksanakan tata Cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan meliputi Peradilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Ini juga berarti bahwa ruang Iingkup berlakunya undang-undang Hukum Acara Pidana mengikuti asas-asas yang dianut oleh Hukum Pidana Indonesia, meliputi :
- Asas Legalitas
- Asas Teritorial (termasuk ZEE)
- Asas Kewarganegaraan Aktif / Personalitas
- Asas Kewarganegaraan Pasif / Perlindungan
- Asas Universal

Ruang lingkup undang-undang Hukum Acara Pidana mencakup pengkhususan dari peradilan umum seperti halnya pengadilan lalu lintas, pengadilan anak, pengadilan ekonomi. Undang-undang Hukum Acara Pidana berlaku juga pada semua ketentuan pidana khusus yaitu perbuatan-perbuatan lainnya yang diancam dengan pidana kecuali apabila undang-undang pidana khusus tersebut menentukan lain (mengatur hukum acara pidana tersendiri)
Ketentuan peralihan KUHAP mengatakan bahwa setelah tahun 1983 maka terhadap semua perkara pidana diberlakukan ketentuan KUHAP, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

Akan tetapi pada kenyataannya setelah KUHAP diundangkan lahir undang-undang yang mengatur ketentuan pidana sekaligus mengatur hukum acara pidananya sendiri. Sebagai contoh :
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 tahun 1999, pasal 26 menyatakan :
“Penyidikan penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini “.

Jadi kalau KUHAP semula dirancang sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi hukum acara Indonesia ternyata gagal. Kedudukan KUHAP sekarang hanya sekedar lex generalis saja.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pasal 39 ayat (1); penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, Tindak Pidana Pencucian Uang; Pasal 74; Penyidikan tindak pidana pencucian uang, dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang- undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini.

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, tentang Narkotika; Pasal 73; Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan. Pasal 72, Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.