Secara sederhana, sumber hukum dapat diartikan tempat kita menemukan hukum. Namun, menurut algra sumber hukum dibagi menkadi dua, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materil.
welcome
1. Sumber hukum dalam arti materiil (welbron), adalah sumber sebagai penyebab adanya hukum atau sumber yang menentukan isi hukum.
2. Sumber hukum dalam arti formil (kenbron), adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya yang menyebabkan ia berlaku umum, mengikat, dan ditaati.
Sumber-sumber Hukum Acara Perdata diantaranya :
1. UUD 1945
2. BRv/Rv
(Reglement Op de Burgelijke Rechtsvordering)
BRv (Reglement Op De Burgerlijke Rechtsvordering Voorderaden Van Justitie Opa Java En Het Hoogerechtshof Van Indonesie, Alsmede Voor De Risidentiegerechten Op Java En Madura) yang lazim disebut reglemen Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa
(Stb. 1847 Nomor: 52 jo. Stb. 1849 Nomor: 63)
BRv/Rv merupakan reglemen yang berisi ketentuan-ketentuan hukum acara perdata berlaku khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengan mereka untuk berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentiegerecht.
Awalnya BRv/Rv adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke Indonesia. Tapi ternyata tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaian-penyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama, terjadi ketidaksesuaian dengan daerah luar Jawa dan Madura, maka dibentuklah RBg.
HIR berlaku untuk orang-orang di Jawa dan Madura sedangakan untuk orang-orang di luar Jawa dan Madura berlaku RBg. Pasal 188 - 194 HIR mengenai banding diganti dengan UU No. 20 Tahun 1947. Sedangkan dalam RBg tidak ada penghapusan/penggantian peraturan mengenai banding. Dengan kata lain, mengenai banding terdapat dualisme hukum yaitu untuk orang-orang diluar jawa dan madura menggunakan RBg dan untuk orang-orang di Jawa dan Madura menggunakan UU No. 20 Tahun 1947 Peradilan Ulangan (Banding)
3. HIR
( Hierzeine Indinesische Reglement )
Pada ketentuan HIR yang mengatur Hukum Acara Perdata diatur dalam Bab IX tentang " Perihal Mengadili Perkara Dalam Perkara Perdata Yang Diperiksa Oleh Pengadilan Negeri" yang terdiri dari:
- Bagian Pertama tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan mulai Pasal 115 sampai dengan Pasal 161.
- Bagian Kedua tentang bukti mulai Pasal 162 sampai dengan Pasal 177.
- Bagian Ketiga tentang musyawarah dan putusan mulai Pasal 178 sampai dengan Pasal 187.
- Bagian Keempat tentang banding mulai Pasal 188 dengan Pasal 194.
- Bagian Kelima tentang menjalankan putusan mulai Pasal 195 sampai dengan Pasal 224.
- Bagian Keenam tentang beberapa hal yang menjadi perkara-perkara yang istimewa mulai Pasal 225 sampai dengan Pasal 236.
- Bagian Ketujuh tentang izin berperkara tanpa ongkos perkara mulai Pasal 237 sampai dengan Pasal 245.
Disamping Bab IX (Pasal 115 s/d 245 HIR) maka pada Bab XV (Pasal 372 s/d 395 HIR) merupakan "Peraturan Rupa-rupa" yang meliputi Acara Pidana dan Acara Perdata.
Untuk itu Hukum Acara Perdata diatur dalam Pasal 372, 373, 374, 379, 380, 381, 388, 390, 391, 392 dan 393 HIR. Pada dasarnya dalam praktik peradilan ketentuan HIR diberlakukan untuk daerah Jawa dan Madura sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 19 Tahun 1964.
4. RBg
(Reglement Voor de Buitendewesten ) / (Reglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 Nomor: 227)
Ditetapkan berdasarkan ordonansi 11 Mei 1927 dan berlaku sejak tanggal 1 Juli 1927 khususnya Bab II Pasal 104 sampai dengan Pasal 323 RBg dan diterapkan untuk luar jawa dan madura sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1099 K/SIP/1972 tanggal 30 Januari 1975 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 3 Tahun 1965.
Hanya Titel IV dan V yang berlaku dan terdiri dari Titel IV, yakni:
Bagian I tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan mulai Pasal 142 sampai dengan Pasal 188.
Bagian II tentang musyawarah dan putusan mulai Pasal 189 sampai dengan Pasal 198.
Bagian III tentang banding mulai Pasal 199 sampai dengan Pasal 205.
Bagian IV tentang menjalankan putusan mulai Pasal 106 sampai dengan 258.
Bagian V tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa mulai Pasal 259 sampai dengan Pasal 272.
Bab VI tentang izin berperkara tanpa ongkos perkara mulai Pasal 273 sampai dengan Pasal 281.
Titel V tentang bukti mulai pasal 282 sampai Pasal 314 RBg.
5. BW
(Burgelijk Wetboek)
Burgerlijk Werboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), meskipun sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun juga memuat Hukum Acara Perdata, terutama dalam Buku IV Tentang Pembuktian dan Daluwarsa (Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993).
Selain itu, juga terdapat dalam beberapa Pasal Buku I, misalnya tentang tempat tinggal atau domisili (Pasal 17 sampai dengan Pasal 25), serta beberapa Pasal Buku II dan Buku III (misalnya Pasal 533, Pasal 535, Pasal 1244, dan Pasal 1365).
6. WvK
(Wetboek van Koophandel)
Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), meskipun juga sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun didalamnya ada beberapa Pasal yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata (misalnya Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 32, Pasal 255, Pasal 258, Pasal 272, Pasal 273, Pasal 274, dan Pasal 275).
7. Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29
Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 ini memuat ketentuan Hukum Acara Perdata tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan dibawah tangan dari orang-orang Indonesia (Bumiputera) atau yang dipersamakan dengan mereka.
Pasal-Pasal ordonansi ini diambil oper dalam menyusun Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg).
8. UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga telah mengatur tentang Hukum Acara yang terdapat di dalam Bab IV bagian pertama yang dimulai dengan gugatan Pasal 53 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
"Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi."
Selanjutnya di dalam Undang undang nomor 9 Tahun 2004 Sebagaimana telaah diubah dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN telah mengatur pula mengenai salinan putusan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 116 yang diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan biaya perkara di dalam UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN juga telah mengatur sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 144A sebagai berikut:
- 1 Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan tata usaha negara dapat menarik biaya perkara.
- 2 Penarikan biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan tanda bukti pembayaran yang sah.
- 3 Biaya perkara sebagaimana pada ayat (1) meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara.
- 4 Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan penerimaan negara bukan pajak yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 5 Biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada pihak atau para pihak yang berperkara yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
- 6 Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9. UU No. 27 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan (Banding) di Jawa dan Madura
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 adalah Undang-Undang tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura. Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Juli 1947. dengan adanya undang-undang ini, maka peraturan mengenai banding dalam Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 tidak berlaku lagi.
10. UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah Undang-Undang tentang Advokat, yang mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal 5 April 2003. Dalam undang-undang ini, antara lain diatur tentang pengangkatan sumpah, status, penindakan, dan pemberhentian advokat. Selain itu, juga diatur tentang hak dan kewajiban advokat, bantuan hukum cuma-cuma, kode etik, organisasi, dan Dewan Kehormatan Advokat.
11. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 29 Oktober 2009. Undang-undang ini memuat beberapa Pasal mengenai hukum acara pada umumnya dan mengenai Hukum Acara Perdata khususnya.
12. UU No. 1 Tahun 1951
UU No. 1 Tahun 1951 adalah Undang-Undang tentang Tindakan tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil. Undang-undang ini mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 14 Januari 1951.
Pasal 1 Undang-undang Darurat menyatakan, bahwa beberapa pengadilan peninggalan Hindia Belanda seperti Magistraad, Pengadilan Kabupaten, Raad District, Pengadilan Negorij, Pengadilan Swapraja, dan Pengadilan Adat dihapuskan.
Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (3)a dinyatakan, bahwa perkara-perkara perdata dan/atau perkara-perkara pidana sipil yang diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah-daerah hukum pengadilan-pengadilan yang dihapuskan itu.
Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 UU Darurat No. 1 Tahun 1951, maka hukum acara perdata pada pengadilan negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UU Darurat.
Yang dimaksud dengan UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tersebut adalah Het Herziene Indoneisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui [ S. 1848 No. 16 dan S 1941 No. 44 ] untuk daerah Jawa dan Madura, dan rechtsreglement Buitengewesten (RBg) atau [ Reglemen daerah seberang ▫ S. 1927 No. 227 untuk luar Jawa dan Madura ] ( S.E.M.A. No. 19 Tahun 1964 dan No. 3 Tahun 1965 menegaskan berlakunya HIR dan RBg).
RO atau Reglemen tentang Organisasi Kehakiman: S.1847 no. 23 sebagai sumber hukum dari pada hukum acara perdata juga dan selebihnya terdapat tersebar dalam BW.
13. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memuat ketentuan-ketentuan Hukum Acara Perdata (khusus) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan serta menyelesaikan perkara-perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan putusnya perkawinan (perceraian) (Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 25, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 55, Pasal 60, Pasal 63, Pasal 65, dan Pasal 66).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang mengatur secara lebih terperinci PasalPasal yang memuat Hukum Acara Perdata tersebut.
14. UU No. 3 Tahun 2009 Jo. UU No. 14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 3 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 adalah Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 30 Desember 1985; yang kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang mulai berlaku pada tanggal diundangkan 15 Januari 2004 terakhir, diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
15. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Dalam Pasal 38 (2) mengatur:
Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
16. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Jo. UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah Undang-Undang tentang Peradilan Umum, yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 8 Maret 1986. Dalam undang-undang ini diatur mengenai kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Peraturan Hukum Acara Perdata antara lain termuat dalam Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 61.
17. UU No. 7 Tahun 1989 Jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
"Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini." (Pasal 54)
18. UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan sebagaimana diubah dengan UU No. 37 Tahun 2004 ( berkaitan dengan proses perkara di Pengadilan Niaga)
Berkaitan dengan proses perkara di Pengadilan Niaga, Pasal 284 (1) UUK Nomor 4 Tahun 1998 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam Pasal 299 menentukan bahwa hukum acara perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan Niaga, kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang.
Atas dasar Pasal ini, Pengadilan Niaga tetap menerapkan ketentuan-ketentuan HIR/RBg yang berlaku pada Peradilan Umum, sepanjang UUK tidak mengatur secara khusus. Demikian juga dalam proses memeriksa dan memutuskan perkara-perkara HaKI, Pengadilan Niaga pun tetap berpedoman pada HIR/RBg, sepanjang Undang-Undang HaKI tidak menentukan lain.
Ketentuan-ketentuan lain dalam Undang-Undang HaKI merupakan suatu ketentuan khusus yang menyampingkan ketentuan umum (lex specialis derogot lex generali).
Hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan umum berlaku juga pada Pengadilan Niaga, kecuali Undang-Undang menentukan lain.
Dengan demikian berarti bahwa HIR dan RBg tetap berlaku pada pengadilan Niaga. Akan tetapi apabila UUK mengatur secara khusus yang menyimpangi ketentuan-ketentuan HIR atau RBg, maka berlakulah asas lex specialis derogate lex generali.
Ketentuan-ketentuan khusus tersebut antara lain berupa tata cara pemeriksaan, upaya hukum dan kuasa pihak berperkara.
Pengadilan niaga lahir sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (PERPU) Nomor: 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor: 4 Tahun 1998 kemudian jadi Undang-Undang Nomor: 37 Tahun 2004.
Undang-Undang inilah yang dikenal dengan Undang-Undang Kepailitan (UUK) baru sebagai pengganti Undang-Undang Kepailitan lama yang diatur dalam Failissements Verordening Staatsblad Tahun 1905 Nomor: 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor: 348.
Pengadilan Niaga adalah Pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa dan memutuskan perkara permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Pengadilan Niaga bukanlah lembaga peradilan khusus yang berdiri terpisah dari peradilan umum, melainkan hanyalah suatu langkah deferensiasi atas peradilan umum, yang pembentukannya dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor: 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman kemudian diubah dengan UndangUndang Nomor: 4 Tahun 2004.
Pengadilan Niaga juga berwenang memeriksa dan memutuskan perkara-perkara di bidang perniagaan yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang (Pasal 300) ayat 1 dahulu Pasal 280 ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan pemerintah.
Perkara perniagaan yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga tersebut adalah perkara di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang diatur dalam
Undang-undang Nomor: 31 Tahun 2000, tentang Desain Industri,
Undang-undang Nomor: 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu,
Undang-undang Nomor: 14 Tahun 2001 tentang Paten dan
Undang-undang Nomor: 15 Tahun 2001 tentang merek,
Undang-undang Nomor: 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, sedangkan
Undang-undang Nomor: 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman Baru dan
Undang-undang Nomor: 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang kewenangan Pengadilan Negeri.
19. Yurisprudensi
Yurisprudensi atau putusan putusan Hakim yang telah berkembang dan sudah pernah di putus di Pengadilan. Dengan kata lain yurisprudensi dapat diartikan sebagai putusan hakim terdahulu yang sudah memiliki kekuatan mengikat dan diikuti oleh hakim-hakim sesudahnya apabila terdapat kasus yang sama.
Menurut S.J.F. Andreae dalam rechtgeleerd handwoordenboek, yurisprudensi dapat berarti juga peradilan pada umumnya dan ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan.
20. Adat Kebiasaan
Wirjono Prodjodikoro menyebutkan juga adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata, sebagai sumber dari pada hukum acara perdata.
Hukum acara perdata dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakanya atau ditegakanya hukum perdata materiil, yang berarti mempertahankan tata hukum perdata, maka pada asasnya hukum acara perdata bersifat mengikat dan memaksa.
Adat kebiasaan hakim yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan, tidak akan menjamin kepastian hukum.
21. Doktrin
Doktrin adalah ajaran atau pendapat para sarjana hukum terkemuka. Doktrin menjadi sumber hukum dikarenakan adanya pendapat umum yang menyatakan bahwa manusia tidak boleh menyimpang dari Communis Opinion Doctorum (pendapat umum para sarjana). Oleh karena itulah doktrin mempunyai kekuatan mengikat.
Tetapi doktrin itu sendiri bukanlah hukum. Instruksi dan surat edaran merupakan sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata maupun hukum perdata materiil.
Doktrin maka instruksi dan surat edaran bukanlah hukum, melainkan sumber hukum : bukan dalam arti tempat kita menemukan hukum, melainkan tempat kita menggali hukum.
22. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung
Surat edaran juga merupakan salah satu pedoman yang dipakai dalam hukum acara perdata. Ada beberapa contoh Surat Edaran Mahkamah Agung antara lain adalah:
a. SEMA Nomor 04 Tahun 1975 tentang Sandera (Gijzeling)
b. SEMA Nomor 09 Tahun 1976 tentang Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim
c. SEMA Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri
d. SEMA Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pengawasan dan Pengurusan Biaya-biaya Perkara
e. SEMA Nomor 5 Tahun 1994 tentang Biaya Administrasi.
f. Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1962 tentang Cara Pelaksanaan Sita Atas barang-barang yang tidak bergerak. Perintah kepada semua juru sita untuk melakukan penyitaan ditempat dimana barang-barang itu terletak dengan mencocokkan batas-batasnya dan dengan disaksikan oleh Pamong desa.
g. SEMA Nomor 05 Tahun 1975 tentang sita jaminan Dalam melaksanakan sita jaminan (conservatoir beslaag) tidak mengabaikan syarat-syarat yang diberikan oleh Undang-Undang (Pasal 227 HIR/ Pasal 261 RBg) dan mengingat adanya perbedaan syarat dan sifat antara conservatoir beslaag dan revindicatoir beslaag.
h. Surat Edaran MA Nomor 9 Tahun 1964 tentang Putusan Verstek Putusan Verstek dapat diberikan pada sidang ke-2 dan seterusnya.
23. Peraturan Mahkamah Agung
Dasar hukum bagi Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung ini termuat dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang menyatakan:
"Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini."
Dalam penjelasannya disebutkan:
"Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi.
Dengan undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk undangundang.
Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian, Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, alat pembuktian serta penilaian ataupun pembagian beban pembuktian."
Adapun beberapa Peraturan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan acara perdata adalah sebagai berikut:
a. Hakim tidak lagi bersifat pasif melainkan bersifat Aktif
Putusan MA RI Nomor 425 K/Sip/1975, tanggal 15 Juli 1975 menyatakan bahwa hakim boleh mengabulkan lebih dari petitum sepanjang sesuai dengan posita. Disamping itu di dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata hakim bersifat aktif.
b. Berkaitan dengan Prorogasi
Yang dimaksud dengan prorogasi adalah mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak berwenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi.
Di dalam HIR tidak dijumpai ketentuan ini, melainkan diatur dalam Rv Pasal 324 sampai dengan Pasal 326.
c. Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2010 tentang Proses mediasi di Pengadilan
Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dan bantuan mediator.
Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara agar lebih dahulu menempuh mediasi.
d. Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok (class action)
Untuk kepentingan efsiensi dan efektifitas berperkara penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan serentak atau sekaligus dan missal terhadap banyak orang yang memiliki fakta, dasar hukum, dan tergugat yang sama, dapat dilakukan dengan mengajukan gugat perwakilan kelompok.
e. Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan Berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan
MA menyatakan bahwa paksa badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukan seorang debitur yang beritikad baik dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.
f. Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2001 tentang Permohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Formal.
Menurut Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2001 : Panitera Pengadilan Tingkat Pertaman yang memutus perkara yang memohonkan kasasi, tidak meneruskan kepada Mahkamah Agung permohonan kasasi yang tidak memenuhi persayaratan formal.
Persyaratan formal adalah persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemohon kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UUNomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
24. Perjanjian Internasional
Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua orang/lebih yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Unsur-unsur perjanjian diantaranya :
1. Essentialia (syarat sahnya perjanjian)
2. Naturalia (unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian meskipun tidak secara tegas diatur)
3. Accidentalia adalah unsur tambahan yang harus secara tegas diatur dalam perjanjian.
Misalnya Perjanjian Kerjasama di Bidang Peradilan antara RI dengan Kerajaan Thailand ( Kepres No. 6 Tahun 1978 )